Skip to main content

Petunjuk, Hati, dan Mimpi : Sebuah Perjalanan

H-2 minggu batas finalisasi SNMPTN.

Saya sudah punya jawaban sekarang untuk pertanyaan yang kemarin-kemarin cuma bisa saya jawab dengan tersenyum kemudian berkata, “Masih belum tahu” atau “Doain aja yang terbaik ya”. Alhamdulillah. Petunjuk Allah memang datangnya dari mana aja kan. Bahkan bisa selembut ini, berupa bisikan-Nya yang kadang tidak disadari telah mewujud sebuah kecenderungan hati.

Bukan sebuah perjalanan yang sebentar memang, bahkan seringkali menciptakan berbagai dinamika emosi dalam diri saya. Masih dapat digambarkan dengan jelas bagaimana alurnya sebelum akhirnya saya dapat memastikan tujuan saya ini. Saya pernah dibolak-balikkan hingga begitu jauh ranahnya dari apa yang  sudah mampu saya tetapkan sekarang. Subhanallah, Allah memang Maha Membolak-balikkan hati. Dan layaknya tentang jodoh mungkin. Walau seberapa jauh Allah pisahkan, jika memang sudah ditakdirkan untuk kita, dia pasti akan kembali lagi kepada kita; begitupun dengan ini,

ternyata saya kembali lagi kepada cita-cita pertama saya.

Sebelumnya,
berbagai pilihan terlintas bebas di pikiran saya. Hingga beberapa di antaranya adalah jurusan-jurusan yang berseberangan dengan jurusan IPA. Ekonomi Islam-lah; sempat berpikir di sana karena kata-kata selintas Abi yang bilang kalau bidang itu sedang begitu berkembang di dunia. Komunikasi-lah karena saya pikir mungkin bidang itulah yang bisa saya geluti tanpa hambatan nantinya. Ilpol-lah, sosiologi-lah, manajemen-lah, dan lain-lain yang mungkin beberapanya hanya berupa sekelebat pikiran tapi beberapa pilihan lainnya ternyata saya seriusin juga untuk jadi pertimbangan.

Ada satu jurusan lagi sebenarnya yang menjadi salah satu yang “paling jadi pikiran” buat saya.
Psikologi.
Dan tebak, kalau saya mendengar itu sebenarnya saya masih seringkali langsung merinding atau menerawang sendiri. Beberapa hari yang lalu juga saya masih amazed mendengar pembicaraan yang isi bahasannya memang concern dari ilmu psikologi. Waktu itu lagi pelajaran BIP di NF sih, tapi ya gitu, ketika saya mendengar berbagai hal dari yang dibahas saat itu, sepenuh perhatian saya tertuju dan ketertarikan yang besar itu memang masih ada.

Perasaan tenang dan bahagia yang saya dapatkan ketika bisa menghadirkan diri ketika orang-orang terdekat ingin bercerita, yang kemudian diikuti perasaan lega ketika mengetahui mereka merasa lebih baik setelah mereka berbicara. Kebiasaan-kebiasaan buat over-discovering sesuatu yang sangat mengusik rasa penasaran saya. Berbagai bentuk intuisi yang memang sebenarnya lebih kepada sok tahu, tapi seringkali ternyata kebetulan memang benar. Dan tampaknya memang menarik buat saya untuk sekadar memperhatikan sorot mata, cara bicara, perilaku, dan langkah orang-orang yang berkeliaran di sekitar saya; dari situ pulalah saya bisa merasakan bahwa ada beribu wujud perasaan yang tidak terungkapkan dibalik semua hal tersebut.
Juga ketika saya memikirkan tentang dia. Saya mungkin bisa menebak berbagai perasaan yang hanya tersiratkan dari orang-orang sekitar, tapi nyatanya masih ada banyak hal yang tidak saya pahami tentang dia. Saya salah satu orang terdekatnya, tapi bisa jadi saya yang paling tidak mengerti perasaannya. Dan saya merasa selama ini saya sama sekali bukan kakak yang baik buat dia.

Maka saya berpikir, mungkin ketika saya telah belajar mengenai ini, saya bisa semakin memahami dia, mengerti perasaannya, memotivasi dia, menjadi penyemangatnya, menjadi yang terbaik ketika dalam masa sulitnya. Juga bisa membantu banyak orang lainnya di sekitar saya. Saya bisa benar-benar memberi jalan keluar dan setidaknya membuat mereka lega, yang didasarkan kepada ilmu yang saya punya, bukan lagi berdasarkan feeling asal atau kata-kata sok bijak yang memang cuma itu yang bisa saya kasih sekarang.

Iya, saya--untuk yang ke sekian kalinya saya katakan--masih merinding mendengar kata psikologi dan kalau ditanya masih adakah keinginan untuk mempelajarinya, saya juga akan menjawab masih ada. Tapi entah, seperti perasaan terhadap seseorang aja, kadang sebenarnya ada berbagai macam wujud ketika mendefinisikan kata “cinta” kan. Sama seperti ini, saya melihat psikologi seperti... apa ya, cinta yang mungkin sudah saya ketahui sejak awal memang ditakdirkan bukan untuk bersama. Heuuu geli sendiri sebenernya ngomongnya -_-

Jadi, di sinilah saya. Engga, saya tidak akan menulis psikologi di pilihan ke berapapun untuk SNMPTN. Dan ada perasaan bahagia tersendiri ketika melihat masih banyak yang benar-benar berjuang untuk tempat itu. Saya ingin sekali bilang ini secara langsung sebenarnya sama teman-teman saya yang telah menetapkan hatinya di sana, terlebih lagi sama kamu. :)
“Terimakasih sudah benar-benar menaruh hati di tempat itu. Terimakasih karena saat ini sedang bener-benar berjuang untuk di situ. Terimakasih karena ketika membayangkan kamu kelak akan menjadi sosok yang akan membantu dan membuat banyak orang di luar sana merasa lebih baik, saya tahu kamu memang orang yang paling tepat untuk itu. Terimakasih karena saya merasa telah diwakilkan untuk cita-cita yang satu itu.”

Cara Allah memang dalam berbagai bentuk ya. Saya yang awalnya merasa begitu dibimbangkan dengan pilihan psikologi atau cita-cita pertama saya dan saat itu rasanya jawabannya condong kepada psikologi. Hal lainnya juga yang membuat saya merasa cita-cita pertama saya ini bukan tempat untuk saya adalah karena saya merasa begitu kecil di antara semua yang juga menginginkan tempat itu. Saya sudah tertinggal begitu jauh di 2 tahun sebelumnya. Ketika melihat perjuangan yang lain dan merenungi perjuangan saya untuk menuju tempat itu rasanya bahkan seperti tidak layak dibandingkan, dan berani-beraninya saya masih bermimpi untuk menuju tempat itu. Saya berpikir bahkan untuk sekadar mengungkapkannya sebagai cita-cita saja kepada orang lain rasanya tidak pantas untuk saya.

Tapi kemudian saya ingat lagi dengan bayangan bahwa kalo saya memilih cita-cita pertama saya, kelak manfaat saya buat keluarga besar pasti akan jauh lebih terasa. Dalam benak saya juga sudah terbayang bahwa orangtua saya sebenarnya begitu menginginkan saya menjadi itu dan akan begitu bangganya mereka ketika melihat saya dengan pakaian identitas profesi itu. Saya akhirnya menetapkan pilihan di situ, tapi dengan wujud penerimaan yang rasanya masih ada beban mengganjal. Hingga semakin lama ketetapan yang saya buat itu ternyata tidak lagi didasari oleh tuntutan dari luar. Dan bertepatan dengan itu pula, saya mengetahui ternyata orangtua saya tidak pernah punya tendensi untuk mendorong saya mengambil jalan tertentu. Keduanya ternyata benar-benar melepas saya dalam memilih tujuan saya sendiri. Sebenar-benarnyan membebaskan. Orangtua saya pun ternyata tidak pernah berpikir akan lebih bangga jika saya menjadi ini atau sangat berharap saya menjadi itu. Sebuah jawaban yang seharusnya bisa jadi membuat saya melenggang bebas menuju pilihan psikologi kan? Tapi ternyata tidak, hati saya sudah dibiasakan dengan pilihan menuju cita-cita pertama saya. Seperti hati saya yang tadinya merasa terbebani dengan pilihan itu kini begitu dinyamankan dan dengan tulusnya membiarkan cita-cita pertama saya menetap di sana.

Tapi rasa tidak percaya diri itu muncul lagi. Saya melihat nilai saya kembali dan tersadarkan bahwa dengan rata-rata yang saya peroleh, tidak mungkin saya bisa sampai di tempat itu melalui jalur SNMPTN. Saya seperti dibutakan rasa takut, akhirnya sempat menetapkan untuk mengganti lagi destinasi menuju tempat lain yang mungkin masih lebih besar peluangnya. Saya tetapkan untuk menuju tempat yang masih satu rumpun dengan cita-cita pertama. Saya sempat pula berpikir mungkin memang ini yang terbaik, karena Kesehatan Masyarakat tampak lebih cocok dengan saya. Saya merasa hal-hal seperti manajerial, sosialisasi, pembuatan kebijakan, atau sejenisnya adalah bidang yang “lebih” saya dan hal seperti itu memang akan lebih ditemukan di FKM. Ilmu-ilmu itu juga kan yang nantinya saya butuhkan kalau kelak saya benar-benar dapat amanah untuk menduduki jabatan itu. Tapi entah, sebagaimanapun rasanya saya menemukan kecocokan itu tapi rasanya hati saya seperti belum dipertemukan dengan pilihan yang lebih diinginkannya dibanding cita-cita pertama. Dan saya pun ternyata sampai pula di jawaban, ternyata yang paling ingin saya capai memang yang itu, walau FKM masih satu rumpun, tapi mimpi saya masih menuju itu. Akhirnya, saya lepaskan juga pilihan yang telah bertahan selama sebulan. Dan kembali kepada ketetapan untuk menjadi itu.

Ada yang masih saya bimbangkan lagi, yaitu tentang tempat. Saya pun sempat dihadapkan dengan berbagai pilihan. Tinggal di satu kota dengan sosok yang jauh di sana yang selama ini selalu saya rindukan kehadirannya, apalagi yang lebih membahagiakan dari itu? Tapi saya terbayang sahabat-sahabat dan orang-orang dekat lainnya, terbayang betapa akan sangat jarangnya saya memiliki kesempatan untuk bertemu mereka. Kemudian saya berpikir, mungkinkah sudah cukup untuk dekat dengan mereka yang selama ini memang sudah dekat dan saya temui setiap hari? Bukankah ini akan menjadi pilihan yang tepat untuk mendekatkan saya kepada yang selama ini jauh? Dan saya pun bertahan dengan pilihan Kota Palembang selama sebulan.

Tapi ternyata bukan menuju situ pulalah yang sedang Allah coba tunjukkan kepada saya. Telepon darinya, yang kemudian membuat saya tahu bahwa tidak akan seterusnya beliau menetap di kota itu dan kemungkinan akan berpindah ke kota lain selama masa saya berkuliah. Tujuan saya ke sana semata-mata agar dekat dengannya dan adanya kemungkinan itu membuat saya ragu kembali. Sampai ternyata hati saya jatuh lagi pada dua pilihan. Dua pilihan yang saya anggap lebih baik untuk saya dan untuk keluarga saya. Dua pilihan itu bertahan menempati kadar yang seimbang sebulan ke belakang. Dan sempat cenderung sudah tetap pada satu pilihan. Saya ingat, itu masih di 2 minggu yang lalu.

Beberapa hari setelahnya, Abi pulang di saat sebenarnya bukan jadwalnya untuk pulang. Katanya, lagi kangen. Ya Allah, ke sekian kalinya hamba dibuat tercenung dengan skenario-Mu. Telah Engkau atur sosoknya untuk hadir dan berbicara di depan saya, yang mungkin memang melalui itulah Engkau turunkan petunjuk selanjutnya. Iya, perbincangan tentang hal ini pun terangkat. Saya selalu suka waktu-waktu seperti ini, berbicara tentang banyak hal bersamanya hingga larut. Dan pikiran saya dibukakan tentang pilihan yang satunya yang mungkin menjadi jawaban yang lebih baik. Saya akhirnya berpikir lagi untuk mempertimbangkan ucapan Abi. Dan kemudian saya ingat, saya belum juga menyempatkan untuk istikharah selama ini. Berbagai keputusan yang saya ambil sebelumnya memang sudah saya yakini merupakan jawaban dari doa-doa saya kepada Allah agar ditunjukan yang terbaik. Tapi kali ini, saya merasa saya butuh untuk istikharah.

Nyatanya, saya memang butuh. Dan jawabannya--yang sebenarnya baru saja saya dapatkan 4 hari yang lalu--adalah tempat yang memang lebih orangtua saya pertimbangkan. Iya, yang diucapkan dalam perbincangan setengah jam bersama Abi itu. Yang ketika saya putar kembali, baik tujuan fakultasnya, maupun universitasnya kedua-keduanya adalah mimpi yang saya yakini yang hadir sejak awal. Yang paling saya yakini pertama kali. Yang saya lintasi di perjalanan mudik. Yang Ua saya mimpikan saya akan berada di sana.

Dan ternyata, memang sudah seharusnya saya tidak takut kan, dengan apa yang bahkan belum saya hadapi. Selama ini juga selalu yakin kan, kalau Allah Maha Berkehendak dan rezeki datangnya bisa dari jalan mana saja. Allah selalu tahu tempat terbaik untuk kita, begitupun dengan berbagai jalan yang harus ditempuh terlebih dahulu. Selama masih ada banyak jalan yang Allah ridhoi, apa kita berhak untuk mendahului takdir-Nya dengan berpikir bahwa kita akan gagal di jalan yang lebih sulit ujiannya? Saya tidak ingin lagi disibukkan rasa takut, yang justru hanya akan membuat saya lupa bahwa masih ada jalan lain yang membutuhkan usaha saya yang paling keras.  Saya tidak ingin untuk yang ke sekian kalinya menyerah terhadap mimpi saya sendiri yang bahkan sudah sejak kecil saya pertahankan. Kali ini saya harus siap. Saya harus siap untuk menuju tempat itu lewat berbagai jalan halal lainnya. Saya harus siap menghadapi SBMPTN. Saya harus siap menghadapi ujian-ujian lainnya. Harus.

Saya sudah menetapkan tujuan, kini jalan perjuangan saya bisa menjadi lebih terarah kan? Saya kini dapat mengukur harus seberapa besar usaha saya untuk menggapainya, tapi saya pun harus siap dengan berbagai kemungkinan di akhir nanti. Karena lagi-lagi, yang Maha Tahu hanya Allah dan yang terbaik akan pula Allah berikan pada akhirnya. Saya siap untuk berjuang sampai akhir menuju apa yang saya yakini paling ingin saya capai, tapi saya juga siap untuk ditempatkan di satu tempat terbaik itu yang hanya berhak diputuskan oleh Allah kelak.

Semua pilihan yang sempat terlintas pun sebenarnya bukan pilihan-pilihan yang buruk. Berbagai pilihan itu akan menjadi pilihan yang terbaik juga untuk orang-orang yang memang Allah takdirkan untuk menempatinya. Dan kini saya memilih apa yang memang telah Allah tunjukkan kepada saya, memang harus melalui perjalanan panjang itu dulu, karena dengan itu saya memahami bahwa setiap profesi dapat menjadi ladang pahala ketika memang didasari dengan niat beribadah kepada Allah.

Mi, Bi, Na, Di,
doain teteh yaa. Semoga pada akhirnya memang di situlah yang terbaik untuk teteh. Maaf karena sebentar lagi waktunya akan tiba. Teteh yang jarang ketemu sama Abi dan Adi ditambah lagi jarang di rumah nemenin Umi dan Ghina, dalam beberapa bulan lagi bakal semakin jarang buat ketemu dan nemenin. Nyatanya masih belum bisa jadi anak dan kakak yang baik. Doain supaya mungkin dengan ditempatkan di situlah, teteh bisa bantu keluarga nantinya, jadi kebanggaan kalian, dan pada intinya jadi manusia yang bermanfaat juga untuk lingkup yang lebih luas.
Mi, Bi, terimakasih karena telah mengajarkan tentang hakikat perjuangan. Terimakasih untuk selalu mengingatkan bahwa semua perjuangan itu nantinya akan dimintai pertanggunjawabannya oleh Allah. Terimakasih karena selalu menjadi sosok yang paling menguatkan dalam berbagai perjuangan itu.

Dan kepada sahabat-sahabat pejuang lainnya,
saya tidak ingin berjuang sendirian.
Saya ingin berjuang bersama kalian. Allah telah kuatkan saya melalui kalian. Maka saya ingin kalian pun tetap kuat menghadapi perjuangan ini dengan saya.
Allah telah bulirkan semangat kepada saya melalui kalian, memang bukan tanpa keraguan dan tangisan sama sekali, tapi melalui kalian saya selalu diteguhkan kembali. Maka saya ingin kalian pun tetap di sini bersama saya terus teguh terhadap apa yang memang kita yakini layak kita perjuangkan.
Allah telah ingatkan saya bahwa semua dapat terjadi atas kehendak-Nya, dan dengan doa serta dengan usaha yang diridhoi-Nya, semua menjadi mungkin. Lagi, itu semua melalui kalian. Maka saya ingin, kita berdiri bersama-sama semakin khusyu dalam solat kita, bersimpuh bersama-sama saling mendoakan,
dan akhirnya bersama-sama diyakinkan untuk terus meninggikan usaha menuju apa yang memang paling ingin kita gapai
serta berbaik sangka selalu kepada Allah bahwa jawaban akhir yang diberikan-Nya, adalah selalu jawaban yang terbaik.

Sekali lagi, terimakasih sahabat-sahabat pejuang. Tetap di sini bersama saya menghadapi berbagai jalan perjuangan yang paling sulit sekalipun.
Dan semoga pada akhirnya apa yang kita anggap baik, adalah apa yang juga Allah anggap baik.

Dan,
terimakasih yang rasanya tidak akan pernah cukup untuk-Mu,
Ya Rabb-ku.
Terimakasih karena telah mengingatkan, saya ternyata punya buku ensiklopedi tubuh yang tebal yang belum banyak saya baca. Bismillah kelak akan bermanfaat ketika saya sudah di situ.
Terimakasih karena telah memperdengarkan lagi ucapan Ua Imas 2 tahun yang lalu sebagaimana sebuah rekaman lama yang diputar kembali,

“Nanti Ivi jadi dokter ya, biar bisa bantu keluarga. Kuliahnya di Unpad aja, biar bisa sering Ua tengokin”

Bismillahirrahmanirrahiim, saya tidak takut lagi mengungkapkan mimpi saya kali ini.
Insya Allah,

Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran 2015
dan
Calon Menteri Kesehatan Republik Indonesia

________________________________________
Kalau pada akhirnya mimpi di atas itu bukan jawaban akhir saya,
jangan menatap miris atau mengasihani saya nantinya.
Karena saya sendiri sudah siap untuk tidak mengasihani diri saya sendiri.
Saya siap untuk mendapatkan hasil apapun yang Allah berikan pada akhirnya,
sesiap saya berusaha mewujudkan mimpi itu menjadi nyata.

Hasil tidak akan pernah mengkhianati prosesnya kan.
Hasbunallah wani’mal wakiil ni’mal maula wani’man nashir.


n.b.
ternyata jadi sepanjang ini ya,
alhamdulillah setidaknya bukan satu yang berakhir jadi draft lagi 

Comments

Popular posts from this blog

Menghitung

Hujan Bulan Juni tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu -Sapardi Djoko Damono- ___________ Ternyata hanya sesekali saja datangnya hujan bulan Juni. Bahkan di penghujungnya, tidak ada satu rintik pun yang turun ke bumi, yang dapat menjadi penutup paling menenangkan dalam rentang 30 hari ini. Dan , Selamat datang Juli , bu lan dengan begitu banyak jawaban atas berbagai penantian .

Rebas Rasa Selumbari

Ucapkan maaf Pada dirimu Yang tak jua rela Membiar lepas Ucapkan jangan Pada hatimu Yang tertumpu bimbang Menggerai rekam Usaikan tentang Pada pahammu Untuk mengantar lesap Setiap yang tersemat Abaikan lalu Setiap laju Yang temui persimpangan Yang ditarik lagi kerisauan Sumbatkan rapat Setiap celah Agar tak disambangi Rebas rasa selumbari Kendalikan penuh Sepasang sayapmu Agar tak melambungkanmu Pada satu yang mengoyak keindahannya ___________________ _ 20 Maret 2015, Sylvi Noor Alifah
Kecewa? Gak tau, saya bingung. Apa memang sebenernya gak usah segininya? Tapi jujur, saya menangis tau kabar itu. Mungkin gak cuma satu-dua, tapi bahkan bisa jadi memang kami yang memilih untuk tidak adalah justru minoritas sekarang. Sebut saya lebay, tapi sesak rasanya ketika mendengar hal itu. Terlebih lagi, di antara mereka yang memilih untuk iya, ada sahabat-sahabat saya yang turut saya rapalkan namanya setiap kali berdoa, yang dengan mengingat mereka membuat saya bangkit lagi setiap kali lelah berjuang, yang terus saya minta sama Allah agar selalu dibimbing di jalur perjuangan yang diridhoi-Nya... Tapi ternyata saya gak ada pengaruhnya sama sekali. Dan memang hanya Allah-lah sehakikatnya pemilik hati saya, sahabat-sahabat saya, dan semua manusia. Saya memang gak bisa apa-apa lagi. Ampuni hamba ya Allah, karena belum bisa jadi sahabat yang baik, karena belum bisa jadi sahabat yang membawa kami bersama-sama mendekat di jalur-Mu, karena belum bisa jadi sahabat yan