Menapaki jejak terdahulu. Terbang jiwa menuju suatu waktu.
Saya tak ingat, purnamakah atau hanya separuh saja bulan menampakkan dirinya saat itu? Yang saya ingat, setelah hari yang melelahkan itu hanya lengang yang melebur bersama deru angin malam.
Sesungguhnya nyamankah satu sama lainnya hanya mendengar nyanyian jalanan, senyap? Masih saya pertanyakan, apa yang sebenarnya melintas di pikiran masing-masingnya?
Terekamnya sedikit konversasi yang bisa saya ulangi dengan runtut dan persis. Satu per satu kalimatnya tentang mimpi dan cita-cita, beserta satu kalimat yang paling dominan bersuarakan kekhawatiran, mungkin?
Hari yang sudah berat. Terasa menjadi bertambah berat setelahnya. Sebab perasaan tidak enak yang menelusup. Sebab disadarinya perangai yang bukan seperti biasanya. Sesal jadinya yang menghampiri. Seperti sudah mengambil keputusan yang salah, walau mungkin saat itu tidak terpikirkan akan sejauh dan selama ini menghuninya di memori.
Maaf sudah merepotkan. Karena sunyi saya. Karena keengganan saya. Karena ketidakmampuan saya. Karena telah menambahkan lelah. Karena membuat jejak itu tertanam di sepanjang jalannya dan ternyata cukup dekat dengan keseharian.
Ah, yang terakhir itu tertuju kepada saya sebenarnya.
Maaf. Karena saya tampak seperti bermuka dua. Hanya jagoan di ranah tanpa pertemuan.
Maaf. Jika terkesan seperti ingin cepat pergi. Saya hanya tidak ingin kata 'iya' lainnya menjadi hal yang paling saya sesali.
Ah, kita sudah sama-sama lelah saat itu. Biar hembusan kencang angin membawa pulang saja masing-masingnya.
Terimakasih. Sekali lagi, maaf saya hanya merepotkan terus.
Hanya separuhnya yang baru saja saya tapaki kembali. Tapi memang menuju waktu itu saya ditarik kuat dan dibubung cerita.
Comments
Post a Comment